Sepuluh Pertanyaan Seputar Banjir Jakarta

 

dok. Masgareng Sucipto/Kamprets

dok. Masgareng Sucipto/Kamprets

http://rujak.org/2013/01/menjawab-10-mitos-tentang-air-dan-banjir-di-jakarta/

Oleh Mulia Idznillah

Hujan dengan intensitas lebat kembali mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir. Ketinggian air di beberapa pintu air masih terus menunjukkan kenaikan, dan mengarah ke status siaga 1. Genangan air telah menutupi banyak titik ruas jalan utama, merendam puluhan rumah warga terutama mereka yang tinggal di daerah pemukiman rawan banjir. Ya, Jakarta banjir lagi.

Bagi warga Jakarta kebanyakan, kata banjir mungkin bukanlah suatu hal yang baru keberadaannya. Pemberitaan mengenai banjir dan permasalahannya kerap mewarnai media massa hampir di setiap musim penghujan. Berbagai spekulasi mengenai sebab-akibat banjir yang tengah melanda Ibu Kota dan bagaimana mengatasinya pun menjadi topik bahasan utama. Sayangnya, pemberitaan tersebut terkadang menimbulkan salah pemahaman orang tentang masalah banjir.

Sabtu 12 Januari 2013 lalu, melalui program Diskusi Sabtu Kota perdananya, Rujak Center for Urban Studies mencoba mengangkat 10 pertanyaan-pertanyaan umum mengenai mitos air dan banjir  yang sering diperbincangkan ketika kita membahas banjir di Jakarta. Bertempat di ruang Le Cinema-IFI Salemba, diharapkan dari diskusi ini nantinya dapat meluruskan berbagai spekulasi tentang banjir di Jakarta dan membentuk pemahaman mendasar warga dalam mengatasi banjir itu sendiri.

Menghadirkan Edwin Husni Sutanudjaja, seorang doktor ahli air tanah yang juga merupakan seorang peneliti di Utrecht University-Belanda sebagai pembicara utama, alur diskusi dibuat runut dengan menjawab 10 pertanyaan. Adapun 10 pertanyaan akan mitos /hal-hal yg terabaikan mengenai air dan banjir yang menurutnya penting untuk dibahas adalah sebagai berikut:

1. Apa itu banjir 5 tahunan? Apakah itu sebuah siklus? 

Di awal presentasinya, doktor kelahiran Kota Cirebon tersebut berusaha meluruskan pemahaman peserta diskusi mengenai siklus datangnya banjir di Jakarta. Menurutnya, banyak sekali masyarakat yang salah kaprah dalam memahami istilah banjir 5 tahunan. Seolah-olah banjir besar yang sempat terjadi tahun 2002, pasti akan berulang hanya di tahun 2007, 2012, 2017 dan seterusnya. Padahal apabila merunut pada data historis di lapangan, banjir besar bisa terjadi kapan saja. Istilah banjir 5 tahunan itu sendiri sebenarnya berasal dari penerjemahan kata kala ulang/ return period (Tr) dalam ilmu statistika. Di sini banjir dianggap sebagai kejadian acak dalam desain rencana banjir, dan angka 5 didapat dari perhitungan analisa frekuensi banjir setiap tahunnya. Dan akhirnya, istilah banjir 5 tahunan seharusnya diartikan sebagai probabilitas banjir yang mungkin terjadi (atau terlampaui) di setiap tahun.

Jadi, jangan heran mengapa di awal 2013 ini Jakarta mengalami banjir lagi dan bukan di 2017. Karena pada dasarnya istilah banjir 5 tahunan bukanlah sebuah siklus 5 tahun sekali, tapi merupakan rasio kemungkinan Jakarta untuk mengalami banjir setiap tahunnya yakni sebesar 20%.

2. Benarkah air mengalir dari tempat tinggi ke rendah?

Sudah menjadi pengetahuan umum dalam ilmu air bahwa salah satu sifat air paling mendasar adalah mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Dan itu bukanlah sebuah mitos. Dalam konteks air dan banjir di Jakarta, kita dapat mengaitkannya dengan topografi Jakarta yang berada di dataran yang lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain di sekitarnya. Sungai-sungai di Jakarta merupakan hilir dari hulu sungai di daerah lain sekelilingnya (jawa barat) yang sebagian terletak di dataran tinggi.

gambar: peta topografi jawa barat, terlihat bahwa Jakarta merupakan dataran rendah.


3. Benarkah sistem kanal bisa membebaskan banjir dr jakarta?

Melihat sejarahnya, Jakarta memang sudah rawan banjir dari dulu akibat letak geografisnya yang memungkinkan terjadinya peningkatan debit air sungai-sungai dari daerah hulu saat musim hujan. Pada awal pembentukan kota Batavia oleh Belanda, kota ini kemudian dirancang dengan kanal-kanal seperti kota Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda yang bertujuan mengurangi banjir tersebut. Namun apakah benar bahwa sistem kanal saja cukup untuk menangani banjir? Ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar.  Dalam presentasinya, Edwin mengutip pernyataan Restu Gunawan dalam buku: Gagalnya Sistem Kanal, bahwa sistem kanal tidak sepenuhnya akan berhasil mengatasi masalah banjir yang ada di Jakarta karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Dengan demikian, mengandalkan sistem kanal saja tidak cukup membebaskan Jakarta dari Banjir. Dan Jakarta perlu alternatif solusi lain dalam menangani air dan banjir setiap tahunnya.

4. Apakah itu sistem polder? 

Sistem polder merupakan sistem lain yang juga diadaptasi dari Belanda. Pada dasarnya sistem ini membantu mengurangi banjir di daerah yang hilir. Adapun prinsip dasarnya adalah menahan, menampung (ekstra ruangan), dan membuang aliran air dengan pompa. Secara tidak langsung, sistem tersebut akan membantu menurunkan puncak banjir,menurunkan beban saluran di hilir, dan menurunkan beban pompa. Jakarta yang berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai 7 meter di atas laut mempunyai kecenderungan lebih sulit untuk mengalirkan air ke hilir. Karena itu penggunaan sistem polder dianggap dapat diadaptasi. Disini tampungan air menjadi faktor yang sangat penting. Namun, tidak dapat dipungkiri pula masalah air dan banjir di Jakarta selain dikarenakan hujan dan aliran sungai dari hulu, juga dipengaruhi pasang surut air laut.

gambar: illustrasi sistem polder.


5. Apa itu banjir kiriman? 

Seperti pada penjelasan sebelumnya, Jakarta berada di dataran yang lebih rendah dibandingkan Bogor dan daerah lain di sekitarnya.  Aliran air sungai dari daerah-daerah di hulu yang akhirnya menumpuk di hilir ini lah yang sebenarnya menyebabkan banjir di Jakarta.

6. Apa itu daerah aliran sungai? 

Menurut Edwin, ketika kita berbicara mengenai daerah aliran sungai berarti kita berbicara mengenai siklus hidrologi. Pada dasarnya air banjir pasti berasal dari alam di sekitar kita. Air yang datang ke Jakarta, bukan saja air hujan namun juga debit air dari aliran sungai seperti dari sungai Citarum, Ciliwung, dll. Pada sebagian wilayah di Jakarta, banjir juga dipengaruhi dari pasang surut air laut. Kenyataannya, banjir di Jakarta datang dari air kiriman dari langit, gunung maupun laut yang mengapitnya. Masalah banjir di Jakarta menjadi tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus dapat dilihat secara terintegrasi dari hulu ke hilir dan tentunya mempertimbangkan aspek ekologis. Ketika jakarta menyelesaikan masalahnya sendiri akan terasa sia-sia tanpa melihat masalah utuh.  Selain itu yang penting untuk kita sadari adalah peran serta lingkungan dalam penyelesaian banjir di Jakarta.


7. Mengapa jakarta kekurangan air padahal sering kebanjiran?

Menjadi sebuah ironi tersendiri ketika mengetahui bahwa Jakarta yang sering kebanjiran, di lain musim mengalami kekurangan air. Dalam paparannya, Edwin Husni Sutanudjaja berpendapat bahwa tidak adanya tampungan serta kurangnya manajemen air yang baik menjadi faktor penting penyebab terjadinya hal tersebut. Ia kemudian mengutip pernyataan Fatchy Muhammad dari Masyarakat Air Indonesia, bahwa kita semestinya mampu mengubah “banjir kiriman” menjadi “berkah kiriman”. Banjir yang terjadi di musim hujan, degan  penampungan dan manajemen air yang baik bisa menjadi sumber air di musim kemarau.

8. Alasan utama dari sedimentasi sungai adalah sampah? 

Pada banyak pembahasan, seringkali sedimentasi sampah pada sungai dianggap sebagai faktor penyebab banjir. Tapi apa benar sampah merupakan penyebab sedimentasi sungai? Menurut Edwin Husni Sutanudjaja, sampah bukanlah alasan utama terjadinya sedimentasi pada sungai. Sedimentasi pasti terjadi. Menurutnya, faktor utama di Indonesia adalah curah hujan yang tinggi, belum lagi masalah penggundulan tanaman di daerah bantaran sungai. Ia menambahkan, sedimentasi bisa dikurangi jika kita dapat menjaga alam dengan baik. Penanaman vegetasi sekitar sungai akan sangat membantu menghambat sedimentasi air sungai. Pengadaan program pengerukan sungai secara berkala, juga dapat menjadi salah satu solusi dari pemerintah. Ia kemudian menambahkan, akan sangat tidak bijak jika kita menyalahkan mereka yang tinggalnya di bantaran sungai sebagai sumber masalah banjir karena dianggap membuang sampah langsung ke sungai dan menyebabkan sedimentasi.

9. Apakah waduk/sumur resapan dapat mengurangi beban puncak banjir?

Iya, Edwin Husni Sutanudjaja setuju dengan hal itu. Selama ini kecenderungan warga Jakarta hanya mengambil air dari tanah tanpa ada usaha menampungnya lagi melalui sumur resapan. Padahal hal seperti itu malah akan berdampak buruk bagi Jakarta dan mempercepat proses penurunan tanah. Di Jakarta sendiri, tingkat penurunan tanah berkisar 5-18 cm setiap tahunnya.

gambar: Peta kontur dan pembagian zona air tanah.

Namun penting untuk dipahami bahwa pembuatan sumur resapan haruslah mencapai kedalaman yang tepat atau berada pada lapisan akuifer. Ia tidak bisa diterapkan dimana saja. Karena jika tidak, air tidak akan meresap dengan baik melainkan ikut mengalir. Sayangnya belum ada pengkajian lebih detail mengenai daerah mana saja yang bisa ataupun tidak bisa dijadikan sumur resapan. Data yang ada dan bisa dijadikan pegangan sementara baru sekedar pembagian zona kedalaman mata air tanah di Jakarta. Untuk daerah berkedalaman kurang dari 1 m (zona merah) tentunya pengadaan sumur resapan tidak akan se-efektif daerah yang berada di zona biru ataupun hijau karena terlampau dangkal. Namun, bukan berarti wilayah pada zona merah tidak bisa berperan serta dalam mengurangi banjir. Penampungan air hujan dan biopori bisa menjadi alternatif solusi bagi mereka yang tinggal di daerah tersebut. Dengan asumsi, mereka yang tinggal di dataran yang lebih tinggi juga sudah membangun sumur-sumur resapan.

10. Air tanah dalam ialah sumber air yang sustainable?

Pengambilan air tanah dalam sebagai sumber air ternyata bukanlah suatu hal yang berkelanjutan. Mengapa? Karena air tanah dalam merupakan salah satu sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Fossil groundwater / air tanah dalam merupakan air yang telah terperangkap jutaan tahun lamanya dan tentu saja untuk memperbaharuinya tidak membutuhkan waktu yang sedikit.  Padahal mayoritas pembangunan di Jakarta menggunakan air tanah dalam sebagai sumber air utama. Terutama gedung-gedung bertingkat seperti apartemen yang marak dibangun di Jakarta. Pengambilan air tanah dalam berkontribusi terhadap kenaikan muka air laut  hampir 30%.  Bisa kita bayangkan tingkat banjir di Jakarta beberapa tahun mendatang, bila kebiasaan ini tidak coba kita imbangi dengan perbaikan?

Banjir di Jakarta memang sudah sampai di fase mengkhawatirkan setiap tahunnya. Tapi bukan berarti itu tidak dapat diatasi. Menurut Edwin, dalam mengatasi banjir sebenarnya tidaklah perlu bergantung pada teknologi canggih. Peran serta warga dan pemahaman dasar mengenai air dirasa lebih penting dalam pengaplikasian solusi sederhana di berbagai aspek. Mulai dari penerapan prinsip arsitektur yang ramah lingkungan dalam pembangunan di Jakarta, hingga perencanaan tata ruang yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan dan terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir.

Menghadiri diskusi kota kali ini memberikan pemahaman mendasar bahwa penyebab banjir di DKI Jakarta, secara umum terjadi karena takdir Jakarta yang berada di daerah bercurah hujan tinggi di dataran rendah. Namun pada akhirnya banjir diperparah dengan ketidakmampuan manusianya mengelola alam dan air dengan baik. ” Apa yang terjadi dalam kota lebih besar pengaruhnya dibandingkan isu global climate change.” ujarnya dalam akhir acara.

Leave a comment