Suara Wong Cilik di Tembok Bandung

 

 

suara rakyat di tembok Bandung (dok. maria hardayanto)

Jika di Kompasiana ada Bowo Bagus, maka di Bandung ada Bowo Kasep. Keduanya mempunyai persamaan: sama-sama mengklaim dirinya tampan (bagus: bhs. Jawa ; kasep:bhs. Sunda).  Entah kenyataannya, apakah mereka  berdua  benar-benar bagus dan kasep alias tampan ? ^_^   Tetapi yang pasti keduanya fotografer kreatif.

Hasil karya kompasianer @Bowo Bagus bisa dilihat dilapaknya dan dilapak Kampretos. Sedangkan hasil karya Bowo Kasep bisa dilihat di sekitar jalan Braga, jalan Tamblong, jalan Tamansari dan Viaduct Bandung.

Mengusung tema “200 Harapan Urang Bandung” , Bowo Kasep bekerja sama dengan kelompok Preman Urban Street Art menyulap  ruang publik  di Bandung setelah setahun sebelumnya menerbitkan buku “200 Portraits + Hopes of Bandung People yang memuat 200 potret karyanya dan diterbitkan oleh Ruangfoto Publisher.

Subjek fotonya urang Bandung pisan,  warga biasa yang tidak pernah diliput media massa dan didengar oleh pihak berwenang. Tetapi kali ini Bowo Kasep memberi mereka ruang berbicara sebagai individu dengan menyebutkan profesi, usia, alamat dan harapan untuk kota tercintanya  dalam secarik kertas yang terbentang di dada.

 Image

mereka ada, tapi tak pernah didengar (dok. maria hardayanto)

Sungguh menarik membaca harapan-harapan mereka.  Misalnya: hayang tiis deui (ingin sejuk kembali) , suatu harapan yang sangat didamba mayoritas warga karena pemerintah kota asyik memberikan izin mendirikan bangunan supermarket, hotel, rumah makan hingga Bandung terasa sempit karena ruang terbuka hijau (RTH) hanya berkisar 12,46 %(target tahun 2011). Sangat jauh dari minimal RTH yang harus dipenuhi kota Bandung yaitu 30 % dari total lahan.

Selain itu ada harapan yang standar:  aman, tentram, bersih, tertib, dikelola lebih baikatau harapan yang cukup idealis yaitu: “ jangan ajarkan anak bangsa jadi koruptor.”

dengarkan harapan kami…… (dok.maria hardayanto)

Siapa mereka? Dari carikan kertas tersebut dapat disimpulkan bahwa Bowo Kasep mengumpulkan beragam profesi : pedagang emas, porter stasiun, petugas  PT KAI, caddy,  anak jalanan, penjual bunga, performer artis, wartawan foto,  pandai besi hingga tukang cukur.

Semua boleh bicara, semua boleh narsis, semua boleh menunjukkan identitasnya. Mereka yang semula hanya dianggap bagian masyarakat  atau sekedar bagian kerumunan  warga “yang nggak penting”,  kini menjadi seseorang yang berhak menyuarakan harapannya.

suara kami katanya amanah bagi kalian ….. (dok. maria hardayanto)

Mereka sama pentingnya dengan para pemilik baliho yang membuat sesak kota Bandung dengan berbagai janji semisal insya allah amanah, mengabdi untuk kepentingan bangsa Indonesia  atau jargon yang kurang jelas : tiada hari tanpa menanam pohon. Walah pak, mau menanam dimana? Kota Bandung sudah bapak penuhi bangunan hingga kami tak bisa berjalan di trotoar, please deh pak…….:P

lho pak, kok curi start?………….(dok.mariahardayanto)

Foto pak Juhana, ibu Ida,  Indra, Ade, Edi, Kiming Toura dan teman-temannya digandakan, diperbesar dan disebar di tempat-tempat umum dengan menggunakan teknik wheat paste atau teknik menempel dengan menggunakan bahan perekat berbahan dasar organik.

Kelompok Preman Urban Street sebelumnya menyiapkan lokasi penempelan dengan menandai dan membersihkannya. Foto-foto dipasang pada dinding yang sudah dicat putih dan diletakkan cukup tinggi agar tidak dirusak orang yang iseng sekaligus mudah terlihat dari sudut pandang pengguna jalan.

suara warga di tembok Braga (dok. mariahardayanto)

Apa yang dilakukan Bowo Kasep bersama Kelompok Preman Urban Street mungkin mirip dengan yang dilakukan Hetifah Syaifudin Sumarto disekitar tahun 2009. Hetifah, alumnus planologi ITB bersama lembaga yang dipimpinnya memasang spanduk ditempat-tempat strategis.   Warga Bandung diajak untuk curhat , menyampaikan uneg-uneg serta harapan kota Bandung yang lebih baik melalui nomor ponsel yang tertera  pada setiap spanduk.

Entah sejauh mana keefektifan menjaring permasalah dimasyarakat dan kemudian menyampaikannya  pada pihak yang berwenang karena di tahun yang sama Hetifah mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan terpilih sebagai Angggota DPR RI Fraksi Golkar dari daerah pemilihan Kalimantan Timur (Kaltim).

Apakah riwayat Bowo Kasep juga akan berakhir sebagai politisi? Entahlah, yang jelas aksinya kali ini tidak sekedar  langkah kreatif seorang  anggota masyarakat dalam mengisi ruang publik Bandung. Langkah kreatif yang terkesan sederhana tetapi amat  bermakna yaitu menyampaikan suara warga Bandung agar didengar pemimpinnya. Warga Bandung yang selama ini dibujuk oleh para  kandidat pemimpin untuk memilihnya untuk kemudian dilupakan.

Foto  Juhana dan kawan kawan bersaing dalam kuantitas yang tidak seimbang dengan foto Ahmad Heryawan, Dede Yusuf, Dada Rosada, Kang Yance dan deretan bakal mantan pemimpin daerah lainnya yang mengharap terpilih sebagai Jabar 1 atau Bandung 1. Mereka  bagai  suara-suara kecil di tembok yang  memberi interupsi : “Eits, dengarkan aku dulu…. Jangan kamu melulu dong yang berbicara”.

Tentu saja dengan harapan para calon pemimpin tersebut mempunyai telinga untuk mendengar. Atau mungkinkah harapan itu terlalu muluk? Mungkinkah suara-suara wong cilik terdengar walau sebatas sepatah kata? Ataukah mereka tetap hanya dianggap sebagai bagian kelimunan? Hanya dianggap sebagai objek ……..……..yang ditengok ketika masa kampanye tiba. Miris.

**Maria Hardayanto**

Bandung diufuk senja ……….(dok. mariahardayanto)

Sumber data:

  • Pikiran Rakyat 12 Agustus 2012

Leave a comment