Betulkah Pembangunan PLTN di Indonesia Tidak Feasible ?

Rencana Pembangunan PLTN Muria

sumber foto : disini

“Pak Habibie pernah menyetop proses perencanaan PLTN pada saat dia jadi presiden, padahal pak Habibie orang yang sangat support pada nuklir. Hal tersebut menggambarkan sulitnya menjadi decision maker tanpa data yang lengkap,” tutur Rinaldy Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional.

Data lengkap memang diperlukan, baik untuk pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan terutama untuk masyarakat. Sayangnya jangankan data lengkap, masyarakat di Gunung Muria, Kudus Jawa Tengah tiba-tiba dikejutkan, daerahnya akan digunakan untuk lokasi PLTN. Data lengkap bukan berarti  “data rayuan” seperti  publikasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2009 yang menguraikan bagaimana introduksi PLTN Korea Selatan pada industri semikonduktor, teknologi informasi dan otomotif  telah memicu peningkatan pendapatan per kapita Korea Selatan dari 1.600 USD tahun 1980 ketika PLTN pertama dibangun menjadi 16.000 USD pada tahun 2005.

Bandingkan dengan Indonesia yang sudah membentuk tim Persiapan Pembangunan PLTN pada tahun 1972, namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1980 pendapatan per kapita RI adalah 500 USD, hanya meningkat 3 x menjadi 1.500 USD pada tahun 2005.

Betulkah PLTN mampu meningkatkan pendapatan per kapita? Sejauh mana Indonesia mampu mengoperasikan PLTN ? Ada 4 hal terkait PLTN yang harus disampaikan ke masyarakat agar yakin bahwa pilihan PLTN sebagai pendukung ketahanan energy adalah pilihan yang tepat dan benar . Yaitu :

1. Kemandirian energy

Kemandirian energy berkaitan dengan kesiapan sumber daya manusia, penguasaan teknologi dan ketersediaan bahan bakar nuklir. Indonesia mempunyai fasilitas nuklir yang mencapai kekritisannya pada 16 Oktober 1964 tetapi fasilitas tersebut untuk penelitian tentang ilmu nuklir bukan fasilitas pembangunan PLTN karena sangat berbeda dan tidak menggambarkan secara langsung kesiapan pembangunan  PLTN.

Mengenai Uranium sebagai bahan bakar nuklir, Indonesia mempunyai sumber daya diduga dan teridentifikasi yang tersebar di Kalimantan dan Bangka Belitung dengan total 53.000 ton. Bila efisiensi produksi  70 % maka diperoleh uranium sebesar 37.100 ton. Jumlah uranium tersebut hanya mampu digunakan untuk operasi 4 unit PLTN  selama 46 tahun dan 10 unit PLTN selama 18 tahun. Prediksi yang sangat jauh dibandingkan usia ideal PLTN antara 50 sampai 60 tahun.

Bahan baku mentah tersebut tidak dapat langsung diolah menjadi bahan bakar tetapi harus dikirim ke negara-negara yang ditentukan IAEA untuk diproses dan diperkaya. Karena Indonesia bukan merupakan Negara yang diijinkan untuk memperkaya uranium, hingga akhirnya Indonesia akan menggantungkan bahan bakar dari luar negeri.

Limbah yang dihasilkan penambangan uranium juga menimbulkan masalah. Setiap satu ton penambangan uranium akan menghasilkan 1.000 ton tailing dan 35.000 liter limbah cair yang akan mencemari alam

Sedangkan menurut ahli nuklir, Iwan Kurniawan : “Jika PLTN benar diusahakan di Indonesia, maka skenario dagang antar negara menjadi rumit. Bahan baku uranium akan menjadi barang impor. Setelah mengalami proses nuklir di Indonesia, uranium dikirim ke pengolahan limbah yang berada di negara lain. Limbah yang berbahaya dan berusia lama dikembalikan ke Indonesia untuk disimpan secara permanen. Skenario tersebut menunjukkan bahwa rencana PLTN di Indonesia dapat memberikan ekses yang buruk. Tidak hanya soal uranium dan pengelolaan limbah, Indonesia akan bergantung pada negara lain dalam hal desain, konstruksi, operasi dan dekomisioning.”

2. Biaya investasi PLTN

Menurut peneliti energi independen, Nengah Sudja, biaya investasi awal pembangkit bertenaga batubara USD 1.176 /kW, pembangkit geothermal USD 1.370/kW, sedangkan pembangkit tenaga nuklir USD 4.600/kW. Walaupun staff Ahli Direksi PT PLN , Ariono Abdulkadir menyatakan investasi PLTN tidak setinggi itu yaitu hanya USD 3.000/kW, jumlahnya tetap dua kali lipat lebih besar daripada pembangkit listrik panas bumi (geothermal).

Pembiayaan PLTN ini juga berarti hutang baru bagi pemerintah. Sumber pembiayaan nanti akan berkaitan dengan teknologi yang dipilih. Jika dana berasal dari hutang luar negeri, negara peminjam akan cenderung memaksakan jenis pembangkit yang mereka inginkan. Biaya tersebut belum termasuk biaya decommissioning yang angkanya selalu naik setiap tahun. Bahkan menurut Walhi, biayadecommissioning jauh lebih besar daripada biaya pembangunan fisik PLTN.

Pada tahun 2009, studi Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa harga listrik PLTN dikisaran USD 8-11 sen/kW, sehingga anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi berpendapat bahwa harga tersebut terlalu mahal untuk Indonesia. “Bila PLTN dibangun di Indonesia, listrik yang dihasilkan oleh PLTN akan membutuhkan subsidi,” ujarnya.

3. Ketersediaan energy yang lain

Rinaldy Dalimi juga menekankan bahwa Indonesia harus menggunakan semua sumber energy yang ada secara optimal sebelum memutuskan untuk menggunakan PLTN. Pemerintah Indonesia juga harus mengendalikan harga gas dan batubara, bukan dengan mengikuti harga internasional yang berfluktuasi  karena fluktuasi harga akan mempengaruhi harga pembangkitan listrik. Selain itu ada kebijakan yang kurang tepat terkait batu bara dan LNG, sekitar 75 % batubara dan hampir 50 % LNG diekspor. Bahkan LNG dijual ke China dengan  tarif flat sebesar USD 3,25 per MMBTU selama 25 tahun padahal saat ini harga LNG dunia berkisar di harga USD 16 per MMBTU. “Masa kita mengekspor energy murah tetapi membeli energy mahal?!”, ujar Rinaldy.

Sedangkan Iwan Kurniawan berpendapat, “Semua Negara sedang beralih pada pengembangan energy terbarukan dan ramah lingkungan seperti matahari, angin, air, panas bumi, arus laut, gelombang laut dan alga. Indonesia telah memiliki rencana pengembangan energy yaitu ” Indonesia Energi Outlook 2010″ yang menunjukkan bauran energy tanpa nuklir sampai tahun 2030. Studi Dewan Energi Nasional (DEN) memperlihatkan bahwa kebutuhan energy dapat dipenuhi oleh Coal Bed Methane CBM) dan batu  bara hingga 2050.”

Potensi energy terbarukan di Indonesia baru dimanfaatkan kurang dari 5 %, dengan dalih yang sering mengemuka adalah mahalnya pembangunan energy terbarukan seperti geothermal, sel surya dan mikrohidro. Tetapi seiring investasi global untuk energy terbarukan yang telah berlipat dua dalam 2 – 3 tahun terakhir mengakibatkan biayanyapun menurun dengan tingkat yang sama.

4. Keamanan dan keselamatan nuklir

Seiring perkembangan teknologi PLTN yang cukup pesat. PLTN generasi ke IV, memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang dibuat secara alamiah melekat (inherent) dan semakin tidak bergantung pada operator atau alat aktif (passive safety).

Tetapi ada yang tidak terjangkau teknologi, salahsatunya adalah bencana alam. Indonesia adalah daerah rawan bencana yang disebabkan gempa dan letusan gunung api. Indonesia termasuk sabuk gunung berapi di dunia (ring of fire). Hampir setiap tahun terjadi gempa dan letusan gunung api yang tidak dapat diprediksi. Selain itu masih banyak daerah yang kurang memadai data gunung api dan gempanya.

Adapun Jepang, siapapun setuju  pemerintah Jepang cukup teliti dan disiplin menyiapkan setiap aspek yang berhubungan dengan negaranya yang rawan gempa. Tapi toh tetap kecolongan, ilmuwan Jepang  memprediksi bahwa gempa bumi di Jepang tidak akan mencapai 8,0 skala richter. Sehingga ketika Niigata, kota yang berjarak 257,8 km dari Tokyo mengalami gempa bumi 6,8 skala richter, semua masih dalam kendali. Yang terjadi diluar prediksi  adalah PLTN Kashiwasaki-Kariwa yang berlokasi di Niigata dan terkena goncangan ternyata mengalami masalah. Tujuh buah reaktor nuklir akhirnya ditutup, tetapi Cobalt-60 dan Chromium-61 terlanjur lepas ke atmosfer. Bahkan 1.200 liter air limbah melimpas ke laut tak terkendali.

Peristiwa terbaru di Jepang tentu saja bencana alam  yang mengakibatkan meledaknya reaktor nuklir di Fukushima. Berbagai cara telah dilakukan untuk mendinginkan batang-batang berbahan radioktif untuk mencegah bahan radioaktif terlepas ke udara. Hingga ahli nuklir Inggris, Andrew Sherry berujar : “Saat ini pemerintah Jepang bingung dalam mengatasi sejumlah ledakan di PLTN Fukushima. Keputusan memompakan air melalui helicopter merupakan bukti dari kebingungan dalam mengambil keputusan.” Tingkat radiasi di area Fukushima sudah mencapai tingkat 6 mendekati skala 7 yang menimpa Chernobyl 25 tahun lalu.

diagram reaktor nuklir

sumber gambar : disini

Kesimpulan :

Terkait pertanyaan diatas, sejauh mana Indonesia mampu mengoperasikan PLTN? Tentu saja tidak ada yang menyangsikan kemampuan dan kompetensi ilmuwan serta teknisi Indonesia dalam menangani reaktor nuklir. Tetapi kemampuan dan kompetensi saja tidak cukup, harus didukung kultur sosial. Juga keterbukaan data. Masyarakat jangan hanya dijejali manfaat PLTN tanpa mengetahui resikonya. Karena masyarakatlah yang mendapat dampak negatif dari setiap rupiah yang dikeluarkan oleh masyarakat sendiri.

Adapun peningkatan pendapatan per kapita tentunya tidak bisa membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan yang membutuhkan PLTN untuk industrinya. Karena Indonesia bukan negara industry.

Selain itu, semangat pembangunan PLTN  tidak seirama dengan semangat otonomi daerah. Sumber daya disetiap tempat  di Indonesia tentulah berbeda-beda. Mengapa tidak dibangun sesuai sumber daya yang dimiliki? Contohnya pembangkit listrik dari sitem hibrida angin dan matahari di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) , mikrohidro di Cimahi (Jawa Barat), panas bumi (geothermal ) di Kamojang (Jawa-barat), Lahendong (Sulawesi Utara), Dieng (Jawa Tengah) dan Sibayak (Sumatera Utara). Pertumbuhan energy yang diyakini seiring sejalan dengan pertumbuhan ekonomi diharapkan akan menyebar dari Sabang hingga Merauke.

Ada hal lain yang harus di garisbawahi. Di Indonesia, suksesi kepemerintahan bisa membuat mandek sebuah rencana. Pembangunan PLTN membutuhkan waktu 5 hingga 8 tahun. Sehingga PLTN  yang telah disahkan pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono  diperkirakan baru mulai dibangun pada akhir masa kepemimpinannya. Apabila ternyata mengalami perubahan di kepemimpinan yang baru, rakyatlah yang merugi karena harus menanggung beban hutang.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan apa yang pernah dinyatakan oleh beberapa organisasi masyarakat berbasis agama. Pengurus  Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bersama Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Jawa Tengah melihat kemungkinan keberadaan PLTN lewat kacamata fiqih. Mereka menyatakan PLTN haram pada tahun 2007. Pada tahun 2009, LBM Jawa Timur mengikuti jejak mereka.

Data : dari berbagai sumber

tulisan terkait  :

One thought on “Betulkah Pembangunan PLTN di Indonesia Tidak Feasible ?

  1. Segala sesuatu itu pasti punya dampak baik dan dampak buruk, seperti 2 sisi mata uang. Begitu juga pembangunan PLTN. Pihak-pihak yang kontra kepada PLTN selalu punya 1000 alasan untuk menolak PLTN, tapi yang pro juga punya 1000 alasan untuk mendukung.

    Kalau alasan untuk menolak adalah ketakutan akan bahaya radiasi (KALAU) PLTN nya kenapa-kenapa, mending cepet-cepet aja pindah keyakinan jadi dukung PLTN. Soalnya, tetangga sebelah juga diam-diam berambisi punya PLTN. Mereka selalu berambisi untuk mengungguli Indonesia dalam segala hal. Kalau PLTN mereka yang katanya bakal dibangun di Semenanjung Malaka itu “kenapa-kenapa”, apa bukan Indonesia juga yang kena radiasinya? Kalau udah gitu mau apa?

    Tapi sudahlah, jangan mikirin takut melulu. Kapan kita majunya? Segala sesuatu itu pasti ada resikonya. Mau naik pesawat, ya resiko jatuh. Mau naik kereta, ya resiko anjlok. Kita di rumah saja juga ada resikonya, ketibanan pesawat jatuh? Nah, kita nggak bangun PLTN juga ada resikonya a.l:

    – siap-siap gigit jari keduluan negara tetangga bangun PLTN. Tambah nunduk lagi deh muka kita. Kalah lagi, kalah lagi.
    – siap-siap kena radiasi mereka (kalau PLTN nya kenapa-kenapa. Atau mau ngarep biar kenapa-kenapa, supaya bisa bilang “gue bilang juga apa”)
    – daftar ini bisa bertambah panjang, tapi bukan itu intinya.

    Intinya, apa sih yang dibutuhkan rakyat? Mari dong, kita pecahkan bersama. Kita butuh energi berkelanjutan. Oke, energi matahari dan angin. Kita coba hitung-hitungan kasar. Berapa turbin angin 0,6 MW yang dibutuhkan untuk menggantikan PLTN 1000 MW? 1600 buah turbin. Kalau 1 turbin butuh area 0,1 km2, kita bakal butuh tanah 160 km2. Hmm… itu 1/4 DKI jakarta. Bisa diamuk orang se Jakarta tuh.
    Itu juga kalau anginnya ada terus. Rata-rata turbin angin hanya punya 35% faktor kapasitas. Kalau begitu, butuh lahan 3x lipat dong biar bisa setara dengan pembangkit 1000 MW.

    Perang argumentasi nuke dan antinuke ini mau dibuat buku berjilid-jilid juga bisa. Asal tahan-tahanan aja.

    Setiap teknologi pembangkit, nuklir, batubara, renewables, itu punya karakteristiknya masing-masing. Tidak bisa disamaratakan total jenderal membabi buta. Setiap teknologi punya porsi marketnya masing-masing. Sekarang, nuklir tidak bisa dipakai untuk lonjakan beban puncak, tapi PLTA pump storage bisa. Renewable seperti matahari bisa dipasang captive pada rumah tangga, kan lumayan tuh, mengurangi beban sistem. Tapi coba aja industri kita disuruh bergantung sama matahari dan angin, ya mesin-mesinnya pada byar-pet rusak semua.

    Kesimpulannya, jangan menaruh semua telur di satu keranjang. Diversifikasi energi adalah kunci ketahanan energi.

    ***

    Floor : “ya tapi jangan nuklir!!” (oalah mas…)

Leave a comment