Bandung……oh Bandung…………

Jembatan Pasupati

sumber  foto :  disini

Setiap kita memasuki kota Bandung dari arah barat, pastilah di sambut “teras pekarangan” kota Bandung yang dinamai Jembatan Pasupati. Jembatan ini menghubungkan jalan Terusan Pasteur (Dr junjunan) dan jalanSurapati, hingga dinamakan Jembatan Pasupati.

Jembatan sepanjang 2,8 km dan lebar 30-60 meter ini dibangun dengan menggunakan konstruksi cable-stayeddengan tujuan mengatasi masalah kemacetan Bandung Utara.

Jembatan tersebut diuji coba pada tanggal 26 juni 2005 dan diresmikan pada tanggal 11 Juli 2005 , tapi sayang diakhir tahun 2010 renggang 20 cm , apa pasal ?

Kemacetan yang diiakibatkan pasar kaget Gasibu, lah yang dituding menjadi biang keroknya. Pasar kaget yang berlangsung setiap Minggu pagi tersebut berhadapan langsung dengan aliran kendaraan dari arah barat dansayangnya atau sialnya, sebelah utara jembatan Pasupati adalah jalan Dago yang menjadi area Dago Car Free Day di setiap Minggu pagi juga.

Dago Car Free Day

dok. disini

Bisa dibayangkan kekacauan yang terjadi akibat kebijaksanaan tumpah tindih mengakibatkan banyak kendaraan tertahan lama di jembatan Gasibu danrengganglah sambungan jembatan Pasupati

Sebetulnya apa yang terjadi sehingga pendatang dari arah barat disuguhi pasar kaget yang pastinya liar dan tak berijin?

Lapangan Gasibu yang berlokasi diantara jalan Surapati dan jalan Diponegoro, depan Gedung Sate dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat mempunyai luas sekitar 18.000 m2. Merupakan milik Pemerintah Provinsi Jawa barat karenanya termasuk dalam kompleks perencanaan pembangunan. Pada jaman Belanda lapangan ini dinamakan Wihelmina Plein. Tetapi masyarakat lebih mengenalnya dengan lapangan Gasibu, mungkin karena terdapat gazeebo di sisi utara dan selatan. Walau sekarang gazeebo yang tersisa hanya di sebelah utara. Lapangan ini sempat berganti nama menjadi lapangan Diponegoro seiring bergantinya nama jalan di depan Gedung Sate yang dulu bernama Wilhelminaboulevard.

lapangan Gasibu 1980-an

dok. disini

Tapi ada versi lain, nama Gasibu merupakan kependekan dari Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara. Karena pada tahun 1955, klub-klub sepak bola masyarakat Bandung Utara meminta ijin untuk menggunakan lapangan Diponegoro yang kala itu masih berupa semak belukar untuk menjadi tempat latihan dan menggelar pertandingan.

Sebagai ruang terbuka yang letaknya strategis, lapangan Gasibu digunakan untuk berbagai aktivitas : upacara kenegaraan, perayaan hari keagamaan, pameran-pameran yang rutin diselenggarakan oleh pemerintah hingga pertunjukan musik.

Sholat Ied di lapangan Gasibu

sumber foto : disini

Akibat makin sempitnya lahan, lapangan Gasibu juga menjadi tempat yang dituju warga untuk berolah raga setiap pagi hari, dan puncaknya setiap Minggu pagi.

Dan bagai lalat mengerumuni buah, atau semut mengerubuti gula, mulailah berdatangan para penjual kaki lima. Dimulai penjual makanan seperti : bubur ayam, lontong kari, mie bakso dan nasi timbel. Sehingga sering menjadi olok-olok bagi penggiat atau penikmat olah raga di sekitar lapangan Gasibu karena seusai berolah raga mereka akan menyantap berbagai jajanan yang dengan mudah dijumpai sekitar lapangan Gasibu.

Sayang pertumbuhan pedagang kaki lima makin lama makin tak terkendali, dimulai pedagang yang berjualan baju, sepatu dan assesories. Berkembang menjadi pedagang furniture, kasur, gorden, sayur mayur hingga …….sepeda motor !

pasar Kaget Gasibu

sumber foto : disini

Nampaknya pemerintah kota melakukan pembiaran karena keberadaan pedagang kaki lima ini sangat meresahkan. Mengakibatkan macet total di sepanjang jalan Surapati, jalan Sentot Alisyahbana dan jalan Diponegoro. Sehingga kendaraan dari arah timur yang hendak ke barat harus berputar arah ke utara atau ke selatan dulu. Demikian juga sebaliknya. Hal tersebut bertambah parah dengan adanya Dago Car Free Day yang menutup akses jalan dari arah utara ke area sekitar pasar Gasibu. Kemacetan total biasanya terjadi dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 12.00 siang.

Tak dapat dipungkiri, adanya “pasar kaget” Gasibu sangat berarti bagi sekitar 4200 pedagang kaki lima yang berjualan disitu (termasuk bagi “penarik retribusi gelap” ^_^ ), maklumlah perputaran uang disetiap hari Minggu mencapai puluhan milyar rupiah. Tapi akibatnya sungguh tidak sebanding. Banyaknya kendaraan yang macet menunggu aliran kendaraan terurai mengakibatkan pencemaran udara. Sungguh ironis, karena masih banyak masyarakat yang datang kesana untuk olah raga, sekalian belanja dan jajan.

sampah yang ditinggalkan pedagang (dok. Maria Hardayanto)

Sampah yang ditinggalkan para pedagang yang merasa sudah membayar retribusi juga menimbulkan masalah sendiri. Mencapai 10-15 meter kubik berceceran sepanjang jalan Surapati, jalan Sentot Alisyahbana dan jalan Diponegoro (area sekitar Gedung Sate).  Meninggalkan jejak Bandung yang kumuh, jorok dan terkesan tidak dipedulikan.

Hingga terjadilah prahara renggangnya sambungan jembangan Pasupati, tak kurang walikota dan wakil walikota serta sekda Bandung memberi ultimatum agarpara pedagang kaki lima ditertibkan dan seperti biasanya penolakan terjadi. Walaupun umumnya para pedagang tersebut mempunyai lapak sendiri. Sehari-harinya mereka menjual dagangan di lapak tetap mereka di pasar Kosambi, pasar Cihaur geulis, pasar Baru dan pasar Gedebage.

Sekarang mereka menuntut mendapat lahan tetap di sekitar Lapangan Gasibu. Sesuatu yang tidak mungkin, karena area sekitar lapangan Gasibu merupakan kawasan perumahan elite yang pastinya akan gusar apabila daerahnya berubah menjadi pasar tradisional yang “mempunyai image jorok”

Gedung Sate

sumber foto . disini

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa barat

sumber foto : disini

Lebih aneh lagi ketika mereka meminta lahan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat milik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat. Karena di Monumen tersebut, selain terdapat museum penanda perjuangan rakyat Jawa Barat juga sering diadakan acara yang berkaitan dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat.

Memang sebaiknya membersihkan debu ketika masih berwujud selaput tipis, karena sesudah menjadi lapisan tebal akan sulit menghapusnya. Dibutuhkan banyak tenaga, waktu, uang dan alat pembersih yang canggih.

Jadi mengapa ketika PKL masih belum sebanyak sekarang, pemkot Bandung terkesan cuek ? Jawabnya ada pada pemangku kepentingan ∞

Plaza Gedung Sate

Sumber foto : disini

tulisan ini merupakan repost, karena situs Erdi Herdiana sudah copy paste tulisan saya ini secara utuh tanpa menuliskan sumbernya  (teman-teman , ceritanya saya curhat nih  ^_^)

Selain itu ada perkembangan PKL Pasar Kaget Lapangan Gasibu yang keberadaannya selama ini meresahkan banyak pihak. Jalan macet mencapai 1 km di jalan Diponegoro dan 1 km di jalan Surapati. Warga harus berjalan kaki karena angkutan umum dan kendaraan pribadi macet total mengakibatkan meningkatnya emisi CO2. Padahal semula daerah itu dibuka untuk sarana olah raga masyarakat. Tetapi pengaduan warga tidak pernah ditanggapi pihak Kotamadya Bandung.

Syukurlah ada perkembangan yang saya kutip dari Detik  Bandung sebagai berikut :

Minggu, 26 Februari 2011,  6 pekan sudah PKL yang berjualan di sekitar Gasibu  ditertibkan. Mereka masih berjualan tapi sudah tidak memenuhi badan jalan Surapati yang mengakibatkan kemacetan total.  Warga merasa lega karena lalu lintas lancar dan kekhawatiran terjadi sesuatu pada jembatan Pasupati mereda.

Selasa, 01 Februari 2011,Kepala PD Kebersihan Kota Bandung menyatakan, sesudah penertiban Pasar Kaget Gasibu maka volume sampah pasar  tersebut berkurang  20 %. Hal tersebut disebabkan karena hanya  terjadi pengurangan pedagang sekitar 20 %.  Masih terdapat 80 % PKL yang  berpindah tempat berjualan di sekitar jl Trunojoyo, jl Cilaki dan sekitar Lapangan Gasibu lainnya.

Masih menurut pak Cece, pada waktu Pasar Kaget Gasibu belum ditertibkan, PD Kebersihan harus mengangkut 10 – 15  m3 sampah ,  mayoritas sampah anorganik (plastik). Untuk itu PD Kebersihan mengerahkan 20 petugas kebersihan dengan total retribusi Rp   420.000.

Hmmm….pak Cece, Anda tidak salah berhitung ?  Estimasi PKL sebelum ditertibkan adalah 4.000 – 5.000 orang. Apabila setiap PKL harus membayar retribusi sampah Rp. 2000, maka jumlah uang retribusi sampah adalah  : 4.000 x Rp 2.000 = Rp 8.000.000 . Padahal menurut beberapa PKL mereka membayar Rp. 5000- Rp 10.000/PKL.   Jadi ?

Sumber data :

Pikiran Rakyat, 16 Januari 2011

http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20110115122040&idkolom=tatarbandung

One thought on “Bandung……oh Bandung…………

Leave a comment