Manfaat Hijau dan Sejuk

Tanggal 29 April 2010, bertempat di Ruang Seminar FSRD ITB , himpunan mahasiswa FSRD ITB mengadakan acara dialog bertemakan : Gunung – Tanah – Air di Cekungan Bandung dengan narasumber T. Bachtiar dan moderator Tisna Sanjaya.

Hampir tidak terjadi dialog pada acara tersebut, karena peserta terperangah hingga terdiam ketika menyimak paparan T. Bahtiar tentang kekayaan alami Bandung yang hilang karena kecerobohan, ketidak pedulian hingga keserakahan mendominasi setiap kebijaksanaan.

Tidak hanya gunung – gunung yang mengitari cekungan Bandung digunduli untuk berbagai macam kepentingan, situ-situ di Bandung pun menghilang untuk dijadikan perumahan.

Bahkan Situ Lembang yang dahulu merupakan kawasan wisata  dan mempunyai jalur penghubung dengan Gunung Tangkuban Perahu kini kering kerontang.

Gunung gundul, tanah kering kerontang, cadangan air habis.  Apalagi yang dimiliki Cekungan Bandung kini  ?……………….Ada ! Namanya zat pencemar atau polutan  yang  mengalir kearah yang lebih tinggi pada malam hari dan mengalir turun pada malam hari.

Zat pencemar tersebut dihirup dengan leluasa tidak saja oleh kita sebagai warga Bandung tetapi juga oleh  pembuat kebijakan yaitu Walikota Bandung, bahkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur !

Bergemingkah pembuat kebijaksanaan apabila dia menyadari adanya polutan yang dihirupnya dan warganya ? Nampaknya tidak, karena kata nanti ! yang berupa janji lebih mudah diucapkan daripada dikerjakan.

Selain menyesalkan menyusutnya keaneka ragaman hayati seperti : pohon biru, pohon kopo, pohon bihbul, pohon kapundung dan perdu jatinangor, T Bahtiar mengingatkan bahwa Bandung yang sejuk dan hijau  akan berdampak pada tingginya kreativitas dan produktivitas.

Benarkah ?   Pembuktian itu datang tadi siang,  di sepanjang  jalan Hasanudin yang sejuk oleh pepohonan nampak beberapa supir yang sedang membaca surat kabar sambil menunggu majikannya. Tidak mereka saja, petugas parkir dan pejalan kaki yang sedang beristirahat , asyik membaca  surat kabar.

Mereka duduk dimana saja, di tembok beton, di selasar rumah bahkan di trotoar  tapi semuanya dibawah kerindangan pohon.

Bagaimana dengan  dua atau lebih orang yang berkumpul ? Mereka asyik mengobrol, bermain catur dan beberapa anak bermain halma. Yang menarik  seorang  tukang kelontong keliling asyik membongkar barang dagangannya dibawah kerindangan pohon.

Itu hanyalah yang tampak sekilas di perjalanan Hasanudin menuju Cigadung, bisa dibayangkan betapa produktifitas dan kreatifitas mengalir diruang-ruang sejuk lainnya yang tak tampak mata.

Hal berlawanan terjadi di panas terik berpolusi yang harus dihadapi supir-supir angkutan umum, pedagang asongan, dan anak-anak sekolah yang harus pulang menempuh perjalanan jauh. Apakah bisa diharapkan produktifitas dan kreatifitas tinggi pada mereka ?

Udara yang panas mengakibatkan mereka mudah marah, sumpah serapah mudah keluar hingga menyulut perkelahian.

Bagaimana dengan anak sekolah ? Sama saja, udara panas berpolusi mengakibatkan mereka enggan beraktifitas apalagi berkreatifitas.  Hanya itukah ? Pastinya tidak, banyak waktu terbuang yang diakibatkan udara panas dan kotor. Belum lagi tingkat kesehatan yang menurun. Bandingkan perumahan yang sejuk dan hijau karena dipenuhi kerindangan pohon dengan perumahan tanpa tanaman, gersang dan penuh sampah. Mungkinkah mengharapkan suasana yang sama di kedua perumahan tersebut.

Jadi ketika seorang kepala daerah hendak mencapai IPM tinggi bagi warganya, caranya cukup mudah : Benahi dulu lingkungan hidup warganya ! Tidak diperlukan biaya tinggi, cukup kemauan yang kuat !

Leave a comment